“Astaga
anak gadis…turun kalian!!” teriak seorang wanita paruh baya dari bawah pohon
jambu air di depan rumahnya.
Lala dan Lili yang sedang berada di atas
pohon terkesiap seketika mendengar suara itu. Wajah mereka pucat. Mereka melongok
ke bawah pohon, disana Ummi Siti, ibunya Lala sedang menatap tajam ke arah
mereka. Tangannya memegang sebatang sapu.
“Yuk, Li kita turun! nanti kita dijolok batang sapu,” ajak Lala. Mereka
berdua turun tergopoh-gopoh.
“Kalian tidak latihan Angklung? Sudah jam 2
lewat ini. Cepat bersiap sana!” perintah Ummi Siti tegas sambil masuk ke rumah
diikuti Lala sedangkan Lili masuh ke rumahnya untuk bersiap-siap.
Lala dan Lili tinggal bersebelahan. Ayah
mereka bersahabat baik sejak masih lajang. Keduanya sama-sama berasal dari kota
Palembang yang merantau ke Jakarta. Ayah Lala, Ramli adalah seorang ustaz
dikampung Bulak, Klender sedangkan ayah Lili,
Koko Achong adalah pedagang alat elektronik sebuah toko di Yogya Plaza, Klender.
Ibu Lili meninggal saat ia masih kecil, karena kanker rahim yang dideritanya.
Setiap Kamis sore, Lili menemani Lala
untuk latihan angklung di rumah Pak Ferry Chandra. Ia seorang seniman angklung
keturunan Tionghoa. Demikian juga mertuanya. Mereka berasal dari Bandung. Jalan
menuju rumah Pak Ferry tidaklah sulit. Biasanya Lala dan Lili melewati jalan
pintas dari rumah warga dan ada banyak sekali pohon rindang di tepi jalan yang
melindungi mereka dari sengatan panasnya sinar matahari.
“Lala,
kamu mau nggak angklungmu diberi nama?,”
tanya Lili membuka pembicaraan sambil membelek-belek
Angklung Lala. Lala menatap Lili heran.
“Bagaimana caranya? Pakai cat minyak ya? Bukannya
mudah rusak kalau dikikis?,” tanya Lala bertubi-tubi. Lala penasaran.
“Tidak
kok, kita pakai sisa cat Pilox di
tokoku ya. Kemarin papa membuat tulisan ‘MILIK PRIBUMI’ di pintu toko dan masih
ada sisa catnya. Setelah latihan kita ke toko ya,” ucap Lili senang. Langkah Lala
terhenti. Matanya menatap Lili penuh selidik.
“Kenapa
om Achong harus menulis ‘MILIK PRIBUMI’, Li?” tanya Lala heran.
“Loh,
Lala tidak tahu? Kemarin sore, Om Haji datang ke toko, beliau membawakan papa 2
botol cat Pilox. Kata Om Haji kalau
ada tulisan itu, nanti toko papa tidak diganggu orang jahat” ungkap Lili panjang
lebar. Om Haji adalah panggilan Lili pada ayah Lala.
“Orang jahat dari mana, Li? ayahku belum
pernah cerita” tanya Lala sedikit khawatir.
Lili menggeleng pelan sambil menatap
Lala. Suasana hening, mereka berdua sibuk melayani pikiran masing-masing.
Sepuluh menit berjalan, akhirnya mereka
tiba di rumah Pak Ferry yang bergaya arsitektur Belanda. Sayup-sayup terdengar nada
indah musik angklung yang dimainkan.
“Coba
tebak lagu apa itu?” tanya Lala memecah keheningan diantara mereka.
“Itu
kan lagu Bengawan Solo, setiap hari lagu itu saja yang dimainkan beliau. Aku
sampai terbawa mimpi mendengarnya,” jawab Lili sedikit bercanda. Lala tertawa lucu
mendengarnya.
“Ayo, kalian berdua cepat kemari! Kita sudah
mulai ini,” seru Pak Ferry saat melihat mereka berdua di depan pagar rumahnya.
Rumah Pak Ferry berwarna putih, di sisi
kanannya ada kebun bunga Anggrek kesukaan nyonya Yenny, istri pak Ferry sedangkan
di sisi kirinya ada teras berukuran 4 x 5 meter dengan lantai keramik putih
yang digunakan sebagai tempat untuk latihan angklung.
Lili dan Lala langsung duduk, ada
sepuluh orang murid yang hadir sore itu termasuk Lala. Lili bukan murid di sana. Ia hanya
menemani Lala saja, terkadang Pak Ferry meminjamkannya angklung jika salah
seorang murid tidak hadir dan Lili ikut latihan meski tidak terlalu mahir. Terkadang
Lili tidak tahu nama lagu yang dimainkan kecuali lagu Bengawan Solo.
“Yuk,
La! Nanti kesorean….” Ajak Lili pada Lala usai latihan. Jam sudah menunjukkan
pukul 16.00 WIB. Lili meraih angklung Lala dan berlalu pergi dengan Lala tanpa
berpamitan pada Pak Ferry. Pak Ferry pun heran.
“Hey,
kalian mau ke mana? tanya pak Ferry sedikit berteriak pada kedua gadis kelas 2
SMP itu. Keduanya sudah di depan pagar rumahnya.
“Kami
mau ke Yogya Plaza, Pak. Jumpa lagi minggu depan ya, Pak!” teriak Lala sambil
melambaikan tangannya.
Rumah Pak Ferry terletak di Kelurahan
Penggilingan, Klender. Hanya tiga menit berjalan kaki dari Yogya Plaza. Kedua gadis itu berjalan
riang. Sesekali Lili melompat-lompat sambil menenteng angklung milik sahabatnya
itu.
“Lala… Aku rasa kamu deh anaknya Koko Achong
bukan aku! Matamu sipit dan kulitmu putih sekali!” ucap Lili sambil meraih
lengan Lala, lantas membandingkannya dengan lengannya yang berkulit sawo
matang. Lala tertawa kecil mendengarnya.
“Semua orang mengira aku anak Ummi Siti. Malah,
kemarin itu diajakin lomba mengaji sama anak kampung sebelah!” keluh Lili pada
Lala. Mukanya berubah cemberut.
“Makanya
kamu jangan Paskibra terus, main angklung saja seperti aku biar kulitnya putih nggak kena panas, hujan, dan badai,” ledek
Lala tertawa renyah. Lili menggerutu kesal.
Mereka terus berjalan, sesekali Lala mengedarkan
pandangan ke sekelilingnya, ia heran
melihat berbondong-bondong orang berjalan tergesa-gesa ke arah Yogya Plaza. Tiga
menit berjalan, langkah mereka berdua terhenti ketika melihat sekelompok orang
tidak dikenal sedang membakar ban-ban bekas di kawasan depan Yogya Plaza. Mereka
juga turut membakar tumpukan sepeda motor yang mereka kumpulkan sehingga
menimbulkan asap hitam tebal dan mengeluarkan bau bensin yang menyengat hidung.
Semua barang-barang dalam plaza dilempar keluar dari lantai dua, kaca-kaca jendela pajangan pecah dan
berantakan di atas tanah. Suasana kacau sekali. Terdengar suara jeritan wanita
dan pria dari dalam plaza. Aparat keamanan kalah jumlah dan tidak bisa
menghentikan kerusuhan itu.
“Ayo,
cepat ambil semuanya! Sebelum kami bakar tempat ini!” terdengar perintah dari sekelompok
orang tak dikenal. Orang-orang semakin beringas menerobos masuk Yogya Plaza. Mereka
ingin menjarah semua barang yang ada di dalamnya.
Lili menarik tangan Lala berlari ke
pintu Yoyga Plaza. Genggaman Lala terlepas, Lili tidak menyadarinya, dan terus menerobos
masuk ke gedung itu. Meninggalkan Lala sendirian di seberang jalan. Tujuan Lili
hanya satu yaitu menemukan ayahnya.
“Papa!!...Hiks...
Hiks… Papa dimana?” teriaknya sambil sesenggukan. Air matanya mengalir deras. Lili
naik ke lantai dua. Orang-orang sibuk menjarah barang yang ada, seseorang
menubruknya kuat, Lili tersungkur di depan toko ayahnya. Ia tidak melihat ayahnya
di sana. Kondisi toko sudah porak-poranda, hancur. Matanya nanar saat melihat
bercak darah di dinding dan di atas lantai. Mata Lili mengelilingi toko
ayahnya. Semua rusak tak bersisa. Tulisan “MILIK PRIBUMI” di pintu toko ayahnya
sudah disilang dengan cat merah. Hatinya sebak.
“Brakk!” tiba-tiba saja lampu padam diiringi
suara benda besar terhempas kuat.
Lili tersentak kaget, tangannya masih
memegang erat angklung Lala, seketika ia ingat Lala. Ia ingin keluar dari
tempat itu. Ia melihat dari lantai satu ada
api besar dan asap hitam yang mulai menyebar memenuhi ruangan plaza.
Orang-orang berlari luntang-lantung, menyelamatkan diri namun semua pintu digembok
dari luar. Sayup-sayup terdengar teriakan minta tolong bergema dari segala
arah.
Lili ketakutan, ia terus menangis dan
melewati satu persatu anak tangga mencoba turun menyelamatkan dirinya namun
langkahnya terhenti saat ia melihat ada tumpukan ban bekas yang sengaja dibakar agar
tidak bisa dilewati. Lili makin putus asa. Lili tidak menyangka ia harus
mengalami tragedi ini. Ia berlari dalam kegelapan, mencoba mencari jalan keluar. Nafasnya semakin sesak.
Dadanya sakit sekali. la terduduk lemas. Lili pasrah. Ia memejamkan matanya,
tiba-tiba saja sepasang tangan hangat meraih tangannya membawanya menjauh dari
tempat itu, Lili bagai lembu dicucuk hidungnya dan terus mengikuti sosok yang berambut
lurus yang terlihat seperti Lala itu. Ia terus berjalan melalui tumpukan
tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa, berjalan sampai ke arah sebuah cahaya. Tiba-tiba
sosok wanita itu hilang. Lili termangu seketika. Ia mendengar seseorang
memanggilnya. Ia kenal suara itu.
“Lili…
ayo cepat lompat!!” teriak Pak Ferry khawatir dari bawah.
Lili berada di ambang jendela pajangan
yang pecah di lantai dua. Lili lantas melihat ke arah Pak Ferry. Ada sebuah tumpukan
kasur di depan Pak Ferry. Ia ragu, namun saat melihat Lala di seberang jalan
sedang tersenyum melambai ke arahnya. Lili tersadar dan langsung melihat angklung
di tangan kanannya, ada sedikit noda hitam bekas terbakar. Lili maju selangkah namun
kakinya menginjak bagian sisi jendela yang rapuh dan menyebabkannya jatuh tidak
tepat sasaran. Kakinya patah. Ia pingsan. Angklung di tangannya terhempas kuat ke
tanah. Seketika semua menjadi gelap.
Lili diselamatkan pak Ferry. Saat
kejadian itu, pak Ferry mendapat informasi dari tetangganya bahwa Yogya Plaza
dibakar massa. Ia ingat Lili dan Lala ada di sana. Ia berlari cepat ke sana.
Kobaran api terlihat marak di dalam gedung Yogya Plaza. Ia melihat Lala berada di kerumunan
orang-orang sambil menunjuk kearah jendela lantai dua Yogya Plaza tempat dimana
Lili sedang berdiri linglung. Ia menolong Lili namun kehilangan Lala. Seminggu
kemudian, mayat Lala ditemukan tewas membusuk dengan kondisi luka tusukan pada
bagian perut dan kemaluannya. Lala menjadi korban pemerkosaan, ia diduga gadis
keturunan Tionghoa, ia diculik saat Lili meninggalkannya di luar gedung. Beberapa
hari setelah tragedi itu, ratusan gadis keturunan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan
dan dibunuh kelompok orang tak dikenal. Ayah Lili, dan kedua orang tua Lala hilang,
diduga mereka juga menjadi korban kebakaran Yogya Plaza saat mencari Lala dan
Lili.
Pak Ferry menjual rumahnya. Ia dan
istrinya mengadopsi Lili dan mengajaknya pindah ke Adelaide, Australia untuk
menjalani pengobatan pasca-trauma. Pak Ferry mendirikan sebuah sekolah musik angklung
disana. Adelindo Angklung namanya. Adelindo Angklung selalu diundang untuk
acara besar di Australia. Adelindo Angklung juga yang membesarkan nama Lili
didunia musik angklung. Musik angklung mengobati luka batinnya. Musik angklung
yang membawanya kembali pada ibu pertiwi, Indonesia. Kembali pada masa lalu dan
semua hal. Saat ini Yogya Plaza telah direnovasi dan berganti nama menjadi Citra
Mall Klender.
Sayup-sayup terdengar nada angklung
Bengawan Solo dimainkan, Lili merasa seseorang memanggilnya. Suara itu mirip
suara Bu Yenny, istri Pak Ferry.
“Lili,
bangun sayang!... Ni Zuo e meng ma?[1]”
tanya bu Yenny dalam bahasa Mandarin.
Lili membuka matanya, ia memeluk bu Yenny
erat. Dua puluh tahun tragedi itu berlalu namun Lili masih mengingatnya dengan jelas.
Hari ini, Lili akan berangkat ke Indonesia. Lili merupakan perwakilan tunggal dari
Adelindo Angklung. Ia menjadi tamu undangan untuk tampil di Festival Angklung International di Saung
Udjo, Bandung akhir pekan ini. Agus Prasetyo seorang pemain angklung senior di
sana yang mengundangnya.
Sebelum berangkat, Lili menatap sendu angklung
Lala yang menghiasi lemarinya. Pak Ferry yang membawa angklung itu. Sebagai
pengikat kenangan di masa lalu.
“Terima
kasih Lala telah menyelamatkanku. Kenanganmu akan terus hidup bersamaku dalam
bilah dan irama angklung ini. Sampai bertemu di Pondok Rangon[2].
Tunggu aku!” ucap Lili sambil mengecup Angklung Lala dan berlalu pergi. ***
[1]
Apakah kamu bermimpi buruk?
[2]
TPU PONDOK RANGON adalah taman pemakaman umum sebagian besar korban tragedi
Jakarta, Mei `98
#Blog 27| | True Story of My Life | Located : Medan | 0.0.19 |00:00 AM |#cerpen #ceritapendek #lombanasional #kisahnyata
Karya ini saya saya ikutsertakan dalam Lomba Cerpen Nasional dan menjadi finalis 100 besar Lomba Cerpen Nasional 2019 (LCN 2019) dapat dilihat di Pengumuman Finalis LCN 2019.
Terima Kasih sudah membaca huruf demi Huruf yah guys!
Big Love ❤❤❤
Kamsahamnida , Sarang Haeyo 💓💓
#Blog 27| | True Story of My Life | Located : Medan | 0.0.19 |00:00 AM |#cerpen #ceritapendek #lombanasional #kisahnyata
2 Komentar
Tragedi yang memilukan dan tidak pernah terungkap pelakunya
BalasHapusiya bang, masih menjadi miteri..
Hapus