ANGKLUNG DAN TRAGEDI YOGYA PLAZA KLENDER

CERITA PENDEK OLEH : ANDIKA ZIKRIA BUDIMAN



Klender, 14 Mei 1998
“Astaga anak gadis…turun kalian!!” teriak seorang wanita paruh baya dari bawah pohon jambu air di depan rumahnya.
Lala dan Lili yang sedang berada di atas pohon terkesiap seketika mendengar suara itu. Wajah mereka pucat. Mereka melongok ke bawah pohon, disana Ummi Siti, ibunya Lala sedang menatap tajam ke arah mereka. Tangannya memegang sebatang sapu.
 “Yuk, Li kita turun! nanti kita dijolok batang sapu,” ajak Lala. Mereka berdua turun tergopoh-gopoh.
 “Kalian tidak latihan Angklung? Sudah jam 2 lewat ini. Cepat bersiap sana!” perintah Ummi Siti tegas sambil masuk ke rumah diikuti Lala sedangkan Lili masuh ke rumahnya untuk bersiap-siap.
 Lala dan Lili tinggal bersebelahan. Ayah mereka bersahabat baik sejak masih lajang. Keduanya sama-sama berasal dari kota Palembang yang merantau ke Jakarta. Ayah Lala, Ramli adalah seorang ustaz dikampung Bulak, Klender  sedangkan ayah Lili, Koko Achong adalah pedagang alat elektronik sebuah toko di Yogya Plaza, Klender. Ibu Lili meninggal saat ia masih kecil, karena kanker rahim yang dideritanya.
Setiap Kamis sore, Lili menemani Lala untuk latihan angklung di rumah Pak Ferry Chandra. Ia seorang seniman angklung keturunan Tionghoa. Demikian juga mertuanya. Mereka berasal dari Bandung. Jalan menuju rumah Pak Ferry tidaklah sulit. Biasanya Lala dan Lili melewati jalan pintas dari rumah warga dan ada banyak sekali pohon rindang di tepi jalan yang melindungi mereka dari sengatan panasnya sinar matahari.
“Lala, kamu mau nggak angklungmu diberi nama?,” tanya Lili membuka pembicaraan sambil membelek-belek Angklung Lala. Lala menatap Lili heran.
 “Bagaimana caranya? Pakai cat minyak ya? Bukannya mudah rusak kalau dikikis?,” tanya Lala bertubi-tubi. Lala penasaran.
“Tidak kok, kita pakai sisa cat Pilox di tokoku ya. Kemarin papa membuat tulisan ‘MILIK PRIBUMI’ di pintu toko dan masih ada sisa catnya. Setelah latihan kita ke toko ya,” ucap Lili senang. Langkah Lala terhenti. Matanya menatap Lili penuh selidik.
“Kenapa om Achong harus menulis ‘MILIK PRIBUMI’, Li?” tanya Lala heran.
“Loh, Lala tidak tahu? Kemarin sore, Om Haji datang ke toko, beliau membawakan papa 2 botol cat Pilox. Kata Om Haji kalau ada tulisan itu, nanti toko papa tidak diganggu orang jahat” ungkap Lili panjang lebar. Om Haji adalah panggilan Lili pada ayah Lala.
 “Orang jahat dari mana, Li? ayahku belum pernah cerita” tanya Lala sedikit khawatir.
Lili menggeleng pelan sambil menatap Lala. Suasana hening, mereka berdua sibuk melayani pikiran masing-masing. Sepuluh menit berjalan,  akhirnya mereka tiba di rumah Pak Ferry yang bergaya arsitektur Belanda. Sayup-sayup terdengar nada indah musik angklung yang dimainkan.
“Coba tebak lagu apa itu?” tanya Lala memecah keheningan diantara mereka.
“Itu kan lagu Bengawan Solo, setiap hari lagu itu saja yang dimainkan beliau. Aku sampai terbawa mimpi mendengarnya,” jawab Lili sedikit bercanda. Lala tertawa lucu mendengarnya.
 “Ayo, kalian berdua cepat kemari! Kita sudah mulai ini,” seru Pak Ferry saat melihat mereka berdua di depan pagar rumahnya.
Rumah Pak Ferry berwarna putih, di sisi kanannya ada kebun bunga Anggrek kesukaan nyonya Yenny, istri pak Ferry sedangkan di sisi kirinya ada teras berukuran 4 x 5 meter dengan lantai keramik putih yang digunakan sebagai tempat untuk latihan angklung.
Lili dan Lala langsung duduk, ada sepuluh orang murid yang hadir sore itu termasuk  Lala. Lili bukan murid di sana. Ia hanya menemani Lala saja, terkadang Pak Ferry meminjamkannya angklung jika salah seorang murid tidak hadir dan Lili ikut latihan meski tidak terlalu mahir. Terkadang Lili tidak tahu nama lagu yang dimainkan kecuali lagu Bengawan Solo.
“Yuk, La! Nanti kesorean….” Ajak Lili pada Lala usai latihan. Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Lili meraih angklung Lala dan berlalu pergi dengan Lala tanpa berpamitan pada Pak Ferry. Pak Ferry pun heran.
“Hey, kalian mau ke mana? tanya pak Ferry sedikit berteriak pada kedua gadis kelas 2 SMP itu. Keduanya sudah di depan pagar rumahnya.
“Kami mau ke Yogya Plaza, Pak. Jumpa lagi minggu depan ya, Pak!” teriak Lala sambil melambaikan tangannya.
Rumah Pak Ferry terletak di Kelurahan Penggilingan, Klender. Hanya tiga menit berjalan kaki  dari Yogya Plaza. Kedua gadis itu berjalan riang. Sesekali Lili melompat-lompat sambil menenteng angklung milik sahabatnya itu.
 “Lala… Aku rasa kamu deh anaknya Koko Achong bukan aku! Matamu sipit dan kulitmu putih sekali!” ucap Lili sambil meraih lengan Lala, lantas membandingkannya dengan lengannya yang berkulit sawo matang. Lala tertawa kecil mendengarnya.
 “Semua orang mengira aku anak Ummi Siti. Malah, kemarin itu diajakin lomba mengaji sama anak kampung sebelah!” keluh Lili pada Lala. Mukanya berubah cemberut.
“Makanya kamu jangan Paskibra terus, main angklung saja seperti aku biar kulitnya putih nggak kena panas, hujan, dan badai,” ledek Lala tertawa renyah. Lili menggerutu kesal.
Mereka terus berjalan, sesekali Lala mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, ia  heran melihat berbondong-bondong orang berjalan tergesa-gesa ke arah Yogya Plaza. Tiga menit berjalan, langkah mereka berdua terhenti ketika melihat sekelompok orang tidak dikenal sedang membakar ban-ban bekas di kawasan depan Yogya Plaza. Mereka juga turut membakar tumpukan sepeda motor yang mereka kumpulkan sehingga menimbulkan asap hitam tebal dan mengeluarkan bau bensin yang menyengat hidung. Semua barang-barang dalam plaza dilempar keluar dari lantai  dua, kaca-kaca jendela pajangan pecah dan berantakan di atas tanah. Suasana kacau sekali. Terdengar suara jeritan wanita dan pria dari dalam plaza. Aparat keamanan kalah jumlah dan tidak bisa menghentikan kerusuhan itu.
“Ayo, cepat ambil semuanya! Sebelum kami bakar tempat ini!” terdengar perintah dari sekelompok orang tak dikenal. Orang-orang semakin beringas menerobos masuk Yogya Plaza. Mereka ingin menjarah semua barang yang ada di dalamnya.
Lili menarik tangan Lala berlari ke pintu Yoyga Plaza. Genggaman Lala terlepas, Lili tidak menyadarinya, dan terus menerobos masuk ke gedung itu. Meninggalkan Lala sendirian di seberang jalan. Tujuan Lili hanya satu yaitu menemukan ayahnya.
“Papa!!...Hiks... Hiks… Papa dimana?” teriaknya sambil sesenggukan. Air matanya mengalir deras. Lili naik ke lantai dua. Orang-orang sibuk menjarah barang yang ada, seseorang menubruknya kuat, Lili tersungkur di depan toko ayahnya. Ia tidak melihat ayahnya di sana. Kondisi toko sudah porak-poranda, hancur. Matanya nanar saat melihat bercak darah di dinding dan di atas lantai. Mata Lili mengelilingi toko ayahnya. Semua rusak tak bersisa. Tulisan “MILIK PRIBUMI” di pintu toko ayahnya sudah disilang dengan cat merah. Hatinya sebak.
 “Brakk!” tiba-tiba saja lampu padam diiringi suara benda besar terhempas kuat.
Lili tersentak kaget, tangannya masih memegang erat angklung Lala, seketika ia ingat Lala. Ia ingin keluar dari tempat itu. Ia melihat dari lantai  satu ada api besar dan asap hitam yang mulai menyebar memenuhi ruangan plaza. Orang-orang berlari luntang-lantung, menyelamatkan diri namun semua pintu digembok dari luar. Sayup-sayup terdengar teriakan minta tolong bergema dari segala arah.
Lili ketakutan, ia terus menangis dan melewati satu persatu anak tangga mencoba turun menyelamatkan dirinya namun langkahnya terhenti saat ia melihat ada  tumpukan ban bekas yang sengaja dibakar agar tidak bisa dilewati. Lili makin putus asa. Lili tidak menyangka ia harus mengalami tragedi ini. Ia berlari dalam kegelapan, mencoba  mencari jalan keluar. Nafasnya semakin sesak. Dadanya sakit sekali. la terduduk lemas. Lili pasrah. Ia memejamkan matanya, tiba-tiba saja sepasang tangan hangat meraih tangannya membawanya menjauh dari tempat itu, Lili bagai lembu dicucuk hidungnya dan terus mengikuti sosok yang berambut lurus yang terlihat seperti Lala itu. Ia terus berjalan melalui tumpukan tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa, berjalan sampai ke arah sebuah cahaya. Tiba-tiba sosok wanita itu hilang. Lili termangu seketika. Ia mendengar seseorang memanggilnya. Ia kenal suara itu.
“Lili… ayo cepat lompat!!” teriak Pak Ferry khawatir dari bawah.
Lili berada di ambang jendela pajangan yang pecah di lantai dua. Lili lantas melihat ke arah Pak Ferry. Ada sebuah tumpukan kasur di depan Pak Ferry. Ia ragu, namun saat melihat Lala di seberang jalan sedang tersenyum melambai ke arahnya. Lili tersadar dan langsung melihat angklung di tangan kanannya, ada sedikit noda hitam bekas terbakar. Lili maju selangkah namun kakinya menginjak bagian sisi jendela yang rapuh dan menyebabkannya jatuh tidak tepat sasaran. Kakinya patah. Ia pingsan. Angklung di tangannya terhempas kuat ke tanah. Seketika semua menjadi gelap.  
Lili diselamatkan pak Ferry. Saat kejadian itu, pak Ferry mendapat informasi dari tetangganya bahwa Yogya Plaza dibakar massa. Ia ingat Lili dan Lala ada di sana. Ia berlari cepat ke sana. Kobaran api terlihat marak di dalam gedung Yogya Plaza.  Ia melihat Lala berada di kerumunan orang-orang sambil menunjuk kearah jendela lantai dua Yogya Plaza tempat dimana Lili sedang berdiri linglung. Ia menolong Lili namun kehilangan Lala. Seminggu kemudian, mayat Lala ditemukan tewas membusuk dengan kondisi luka tusukan pada bagian perut dan kemaluannya. Lala menjadi korban pemerkosaan, ia diduga gadis keturunan Tionghoa, ia diculik saat Lili meninggalkannya di luar gedung. Beberapa hari setelah tragedi itu, ratusan gadis keturunan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan dan dibunuh kelompok orang tak dikenal. Ayah Lili, dan kedua orang tua Lala hilang, diduga mereka juga menjadi korban kebakaran Yogya Plaza saat mencari Lala dan Lili.
Pak Ferry menjual rumahnya. Ia dan istrinya mengadopsi Lili dan mengajaknya pindah ke Adelaide, Australia untuk menjalani pengobatan pasca-trauma. Pak Ferry mendirikan sebuah sekolah musik angklung disana. Adelindo Angklung namanya. Adelindo Angklung selalu diundang untuk acara besar di Australia. Adelindo Angklung juga yang membesarkan nama Lili didunia musik angklung. Musik angklung mengobati luka batinnya. Musik angklung yang membawanya kembali pada ibu pertiwi, Indonesia. Kembali pada masa lalu dan semua hal. Saat ini Yogya Plaza telah direnovasi dan berganti nama menjadi Citra Mall Klender.
Sayup-sayup terdengar nada angklung Bengawan Solo dimainkan, Lili merasa seseorang memanggilnya. Suara itu mirip suara Bu Yenny, istri Pak Ferry.
“Lili, bangun sayang!... Ni Zuo e meng ma?[1]” tanya bu Yenny dalam bahasa Mandarin.
 Lili membuka matanya, ia memeluk bu Yenny erat. Dua puluh tahun tragedi itu berlalu namun Lili masih mengingatnya dengan jelas. Hari ini, Lili akan berangkat ke Indonesia. Lili merupakan perwakilan tunggal dari Adelindo Angklung. Ia menjadi tamu undangan untuk tampil  di Festival Angklung International di Saung Udjo, Bandung akhir pekan ini. Agus Prasetyo seorang pemain angklung senior di sana yang mengundangnya.
Sebelum berangkat, Lili menatap sendu angklung Lala yang menghiasi lemarinya. Pak Ferry yang membawa angklung itu. Sebagai pengikat kenangan di masa lalu.
“Terima kasih Lala telah menyelamatkanku. Kenanganmu akan terus hidup bersamaku dalam bilah dan irama angklung ini. Sampai bertemu di Pondok Rangon[2]. Tunggu aku!” ucap Lili sambil mengecup Angklung Lala dan berlalu pergi. ***



[1] Apakah kamu bermimpi buruk?
[2] TPU PONDOK RANGON adalah taman pemakaman umum sebagian besar korban tragedi Jakarta, Mei `98



Karya ini saya saya ikutsertakan dalam Lomba Cerpen Nasional dan menjadi finalis 100 besar Lomba Cerpen Nasional 2019 (LCN 2019)  dapat dilihat di Pengumuman Finalis LCN 2019.




Terima Kasih sudah membaca huruf demi Huruf yah guys!
Big Love ❤❤❤



Kamsahamnida , Sarang Haeyo 💓💓

#Blog 27|  | True Story of My Life | Located : Medan  | 0.0.19 |00:00 AM |#cerpen #ceritapendek #lombanasional #kisahnyata 




Posting Komentar

2 Komentar